Larangan WNA Masuk AS Diperluas Jadi 36 Negara, Termasuk Indonesia?

Donald Trump dikabarkan bakal memperluas larangan WNA masuk Amerika Serikat (AS) menjadi 36 negara tambahan dengan alasan menjaga keamanan nasional.--irish star/ist
BACAKORAN.CO - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dikabarkan bakal memperluas kebijakan pelarangan masuk ke wilayah AS bagi warga dari 36 negara tambahan.
Langkah ini merupakan kelanjutan dari kebijakan imigrasi Trump yang sebelumnya telah memblokir warga dari 12 negara masuk AS dengan dalih ‘mencegah ancaman teroris asing’ dan menjaga keamanan nasional.
Ancaman Baru, Daftar Hitam Makin Panjang
Berdasarkan dokumen internal Departemen Luar Negeri AS yang ditandatangani langsung oleh Menlu Marco Rubio, terdapat kekhawatiran besar terhadap puluhan negara yang dianggap tidak memenuhi standar keamanan dan kerja sama internasional.
BACA JUGA:Daftar 12 Negara yang Warganya Dilarang Trump Masuk AS, Ada Indonesia?
BACA JUGA:Iran Bombardir Habis Israel, AS Bakal Ikut Campur? Trump Bilang Begini!
Dokumen itu menyebut 36 negara yang bisa masuk daftar hitam baru, jika dalam 60 hari tidak menunjukkan perubahan atau perbaikan sistem keamanan identitas warganya.
Masalah utamanya yakni mulai dari paspor palsu, pemerintahan yang dianggap tidak kooperatif, hingga ketidakmampuan menampung kembali warganya yang dideportasi dari AS.
Tak hanya itu, catatan keterlibatan warga negara tertentu dalam terorisme, aktivitas anti-Semit dan anti-AS juga ikut jadi perhatian serius.
Negara-negara yang masuk radar larangan baru meliputi Angola, Kamboja, Pantai Gading, Sudan Selatan, Mesir, Ghana, Syria, Uganda, hingga Zimbabwe.
BACA JUGA:Telepon Tengah Malam dari Trump! Begini Respon Prabowo dan Topik Panas yang Dibahas
BACA JUGA:Diktator! Trump Siap Berlakukan Tarif Impor Sepihak, Bagaimana Nasib Indonesia?
Semuanya dituding belum memenuhi standar keamanan dan pengawasan identitas internasional.
Belum ada pernyataan resmi apakah Indonesia termasuk di dalamnya.
Namun nama-nama lain dari Asia dan Afrika muncul dalam dokumen yang dilansir dari Washington Post dan Reuters.