bacakoran.co

PM Denmark Larang Cadar dan Tutup Musala di Kampus: Demokrasi vs Kebebasan Beragama?

Perdana Menteri Denmark kembali memicu kontroversi setelah mengumumkan rencana baru yang dinilai membatasi kebebasan beragama di negara Skandinavia.--

BACAKORAN.CO - Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen, kembali memicu kontroversi setelah mengumumkan rencana baru yang dinilai membatasi kebebasan beragama di negara Skandinavia tersebut.

Pemerintah Denmark akan memperluas larangan penggunaan cadar bagi perempuan Muslim ke institusi pendidikan, termasuk sekolah dan universitas, serta mendorong penutupan musala-musala di lingkungan kampus.

Langkah ini bukan yang pertama. Sejak tahun 2018, Denmark memang sudah melarang penggunaan burqa dan niqab di ruang publik.

Kini, Frederiksen mengambil kebijakan yang lebih tegas dengan alasan ingin memperkuat nilai-nilai demokrasi dan integrasi sosial.

BACA JUGA:Momen Seru! Wamen Stella Jadi Penerjemah Dadakan Prabowo Saat Temui PM China Li Qiang

BACA JUGA:Tegas! Kades Wakatobi Kecewa, Aksi Bule Asal Denmark Perbaiki Jembatan Rusak, Ternyata Alasannya...

Dalam wawancaranya dengan media lokal Ritzau, Frederiksen menyatakan bahwa meskipun kebebasan beragama dijamin, demokrasi tetap harus menjadi prioritas utama di Denmark.

“Tuhan harus menyingkir. Anda boleh percaya dan menjalankan agama, tapi demokrasi lebih utama,” tegasnya, seperti dikutip pada Sabtu (7 Juni 2025).

Menurutnya, larangan cadar di lingkungan sekolah dan kampus tidak semata-mata soal pakaian, melainkan tentang prinsip kesetaraan gender dan integrasi sosial.

Ia menyebut bahwa simbol-simbol keagamaan tertentu, seperti cadar dan burqa, bisa memperkuat segregasi dan menghambat proses pendidikan yang inklusif.

BACA JUGA:Astagfirulahal ‘adziim! Wanita Bercadar Miliki Benda Ini, Langsung Dibawa ke Kantor Polisi, Kasusnya Berat

BACA JUGA:Usulan Pemakzulan Gibran Kian Gencar, Jokowi Respon Perihal ini: Biasa Saja

Frederiksen tak hanya menyoroti cadar, tapi juga menargetkan fasilitas ibadah seperti musala di kampus-kampus.

Meski tidak akan mengeluarkan larangan resmi secara langsung, ia menegaskan akan memulai dialog dengan pihak universitas untuk menutup musala.

PM Denmark Larang Cadar dan Tutup Musala di Kampus: Demokrasi vs Kebebasan Beragama?

Melly

Melly


bacakoran.co - perdana menteri denmark, , kembali memicu kontroversi setelah mengumumkan rencana baru yang dinilai membatasi kebebasan beragama di negara skandinavia tersebut.

denmark akan memperluas larangan penggunaan cadar bagi perempuan muslim ke institusi pendidikan, termasuk sekolah dan universitas, serta mendorong penutupan musala-musala di lingkungan kampus.

langkah ini bukan yang pertama. sejak tahun 2018, denmark memang sudah melarang penggunaan burqa dan niqab di ruang publik.

kini, frederiksen mengambil kebijakan yang lebih tegas dengan alasan ingin memperkuat nilai-nilai demokrasi dan integrasi sosial.

dalam wawancaranya dengan media lokal ritzau, frederiksen menyatakan bahwa meskipun kebebasan beragama dijamin, demokrasi tetap harus menjadi prioritas utama di .

“tuhan harus menyingkir. anda boleh percaya dan menjalankan agama, tapi demokrasi lebih utama,” tegasnya, seperti dikutip pada sabtu (7 juni 2025).

menurutnya, larangan cadar di lingkungan sekolah dan kampus tidak semata-mata soal pakaian, melainkan tentang prinsip kesetaraan gender dan integrasi sosial.

ia menyebut bahwa simbol-simbol keagamaan tertentu, seperti cadar dan burqa, bisa memperkuat segregasi dan menghambat proses pendidikan yang inklusif.

frederiksen tak hanya menyoroti cadar, tapi juga menargetkan fasilitas ibadah seperti musala di kampus-kampus.

meski tidak akan mengeluarkan larangan resmi secara langsung, ia menegaskan akan memulai dialog dengan pihak universitas untuk menutup musala.

“musala sering kali dijadikan alat kendali sosial yang dapat menindas perempuan, dan mungkin juga laki-laki,” kata frederiksen.

ia juga menambahkan bahwa dirinya, sebagai perempuan dan pemimpin negara, tidak akan mentoleransi bentuk penindasan apa pun atas nama agama.

namun, ia juga mengakui bahwa belum ada data pasti mengenai seberapa besar praktik penindasan tersebut terjadi di musala kampus.

meski demikian, frederiksen tetap mengambil posisi tegas menentang keberadaan musala di lembaga pendidikan.

rencana ini langsung menuai gelombang kritik dari berbagai kelompok, terutama aktivis hak asasi manusia dan organisasi keagamaan.

mereka menilai langkah pemerintah denmark sebagai bentuk diskriminasi sistemik terhadap komunitas muslim, khususnya perempuan.

“ini jelas merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan hak perempuan untuk memilih cara berpakaian,” ujar salah satu perwakilan amnesty international denmark.

banyak juga yang menilai bahwa narasi frederiksen hanya akan memperdalam jurang antara kelompok mayoritas dan minoritas, serta menciptakan stigma negatif terhadap islam.

kebijakan ini memunculkan pertanyaan besar: sampai sejauh mana negara boleh mencampuri urusan pribadi warganya atas nama demokrasi?

apakah integrasi sosial harus dibayar dengan mengorbankan hak-hak individu?

denmark, yang dikenal sebagai negara dengan standar hak asasi tinggi, kini menghadapi tantangan besar untuk menjaga keseimbangan antara prinsip demokrasi, kesetaraan gender, dan kebebasan beragama.

ke depan, dunia akan menyoroti apakah langkah frederiksen membawa perubahan positif atau justru menciptakan luka sosial yang lebih dalam.

Tag
Share